Artikel manusia dan kebudayaan
Artikel manusia dan kebudayaan
Inilah salah satu atraksi budaya Betawi yang dapat Anda lihat di Jakarta. Ya, Ondel-Ondel merupakan pertunjukan khas masyarakat Betawi yang sering tampil dalam berbagai perayaan seperti pesta panen, penyambutan tamu, serta berbagai perayaan resmi lainnya. Arak-arakan atau menjadi penghias wajah ibu kota Jakarta.
Ondel-ondel adalah manekin raksasa
yang tingginya bisa mencapai sekitar 2,5 meter dengan lebarnya sekitar 3 kaki.
Ondel-ondel ini mengenakan pakaian berwarna-warni dan riasan wajah tebal, juga
beragam ornamen di kepalanya. Berperan sebagai subjek pengendali ondel-ondel
adalah seorang pria yang berjalan dan menari bersama musik khas Betawi.
Ondel-ondel dibuat secara
tradisional dari bilah-bilah bambu dan diberi pakaian dengan perhiasan layaknya
pengantin. Hampir semua bahan pembuatannya alami berasal dari sekitaran kampung
di Betawi. Termasuk juga pewarnanya merah, kuning, dan warna-warna cerah
lainnya dibuat dengan bahan alami. Bagian wajah ondel-ondel berupa topeng atau
kedok dengan rambut dibuat dari ijuk. Salah satu tempat untuk Anda melihat
pembuatan ondel-ondel khas Betawi adalah di kawasan Rawa Belong, Jakarta Barat.
Ondel-ondel ditampilkan berpasangan
laki-laki dan perempuan yang diibaratkan seperti suami istri. Ondel-ondel
laki-laki wajahnya dicat merah, diberi kumis melintang, jenggot, alis tebal,
cambang, dan kadang dibuatkan caling. Sementara itu, ondel-ondel perempuan
wajahnya dicat putih atau kuning, diberi rias gincu, bulu mata lentik, dan alis
lancip. Kadang-kadang dibuatkan tai lalat. Kadang juga tampil ondel-ondel
anak-anak. Ondel-ondel tersebut memerankan leluhur atau nenek moyang yang
senantiasa menjaga anak cucunya. Oleh karena itu, Ondel-ondel dapat dikatakan
sebagai danyang desa.
Bahan pakaian ondel-ondel
masing-masing 10 meter. Pakaian ondel-ondel laki-laki berwarna gelap dengan
jenisnya pakaian pangsi. Untuk perempuan dipilihkan warna cerah motif polos
atau kembang-kembang dengan jenisnya baju kurung.
Nyok kite nonton ondel-ondel, nyok kite ngarak
ondel-ondel. Ondel-ondel ade anaknye anaknye nandak gel-igelan”. Itulah
sepenggal lirik lagu “ Ondel-Ondel” yang terkenal dan sangat identik dengan
keberadaan masyarakat Betawi.
Budaya manekin dengan iringan musik
seperti ondel-ondel ini sebagai lambang dewa-dewa penyelamat. Awalnya permainan
ini digunakan untuk pemujaan arwah nenek moyang atau tokoh yang dihormati.
Namun, saat ini ondel-ondel lebih berfungsi media hiburan, seperti pada pesta
panen, penyambutan tamu, atau pesta khitanan. Manekin raksasa ini juga pernah
dikenal di Jawa Barat dengan sebutan badawang, di Jawa Tengah disebut barongan buncis, dan
di Bali
lebih dikenal dengan nama barong landung.
Ondel-ondel Betawi
dibuat dengan tujuan untuk mengusir roh jahat dan penyakit. Ondel-ondel pun
awalnya kental dengan sisi magis dimana penari ondel-ondel harus memberikan
sesajen berupa rokok, kopi, air kelapa, atau pun telur ayam kampung sebagai
sesaji kepada leluhur sebelum memulai arak-arakan. Cara memberi minuman sesajen
kepada ondel-ondel adalah dengan menaruhkannya dalam kerangka tubuh
ondel-ondel. Apabila sesajen ini tidak dipenuhi maka ondel-ondel pun diyakini
tidak akan maksimal beraksi. Akan tetapi, saat ini masyarakat Betawi lebih
memanfaatkan ondel-ondel sebagai perangkat budaya untuk menyemarakkan pesta
atau untuk acara peresmian khusus. Setidaknya beragam kegiatan itu telah
berjasa mempertahankan tradisi unik ini di tengah deru modernitas kota
metropolitan.
Ondel-ondel tidak akan berjalan
tanpa iringan musik khas Betawi yaitu musik tehyan. Jenis musik tradisional ini
mendapatkan pengaruh dari China. Kadang-kadang, sekelompok orang bermain
tanjidor, yaitu alat musik yang berasal dari istilah Portugis untuk sekelompok
orang yang bermain musik, tangedores. Ada juga ondel-ondel yang menggunakan
musik gendang pencak Betawi, musik ningnong, gambang kromong, dan rebana
ketimprung.
Musik khas Betawi akan menyertai
ondel-ondel ketika mereka tampil dalam sebuah parade. Setiap kelompok dari
berbagai kampung di Betawi akan memainkan jenis musik yang berbeda, tergantung
pengaruh yang diresapinya. Oleh karena itu, ondel-ondel bisa sangat beragam
jenisnya. Beberapa hadir dengan tehyan, beberapa dengan gambang kromong, sementara
yang lainnya tampil dengan warna tanjidor.
Saat ini ada beberapa kelompok
ondel-ondel yang aktif melestarikan budaya yang cantik ini, yaitu ondel-ondel
pimpinan Gejen (Kampung Setu), ondel-ondel Beringin Sakti pimpinan Yasin
(Rawasari). Adapula ondel-ondel pimpinan Lamoh (Kalideres) diiringi bende,
ningnong dan rebana ketimpring.
Anda juga dapat melihat ondel-ondel
dengan mengunjungi Dunia
Fantasi. Di sana dipamerkan beberapa pasang ondel-ondel dimana
biasanya bersama badut yang menghibur pengunjung. Dalam pementasannya
ondel-ondel tersebut diiringi alat musik berupa kendang, kenong dan terompet.
Musik Betawi lahir dari beragam
budaya sesuai lokasinya yang dekat dengan pelabuhan. Pengaruh China
mempengaruhi suara dan jenis musiknya. Pengaruh Portugis memainkan peran dalam
memberikan ansambel merdu. Pengaruh budaya Islam dari Timur Tengah juga
terlihat dalam irama dalam setiap elemen pertunjukan. Semua itu berpadu bersama
budaya lokal dan menjadikan musik tradisional Betawi begitu khas melantunkan
musik yang harmonis.
Betawi sendiri merupakan nama dari
sebuah kota sekaligus nama kelompok etnis. Sebelum VOC datang, kelompok etnis
Betawi lahir dari perkawinan multikultural seperti Jawa, Sunda,
Arab, Cina, Bali, Bugis, Makassar,
Melayu, dan Ambon.
Kata betawi berasal dari nama
betavia atau batavia, yaitu sebuah nama lama untuk Jakarta. Istilah batavia
berasal dari bahasa Belanda dan Jerman, yaitu Batavieren, adalah salah satu
suku nenek moyang orang Belanda yang bermigrasi ke Belanda (Rijndelta) dari
bagian barat Jerman. Suku ini tinggal di kota tembok kuno di tepi Sungai Maas.
Semua gubernur VOC di Nusantara
menggunakan nama Batavia untuk kota pelabuhan ini, termasuk juga pendirinya
yaitu Jan Pietersz oon Coen. Ia sebenarnya ingin memberi nama kota pelabuhan ini sebagai Nieuw Hoorn
dengan alasan karena ia lahir di Hoorn, Belanda utara. Akan tetapi, karena
harus mematuhi perintah pusat dari Kerajaan Belanda maka ia menamainya Batavia.
Kota Batavia sendiri saat itu bersifat
tertutup. Tidak ada penduduk setempat yang diizinkan tinggal di dalam kota
karena dibatasi oleh benteng. Akan tetapi, beberapa kelompok etnis seperti Coromandel
(tentara bayaran Jepang), orang Banda dan Banten (orang Sunda sebagai penduduk lokal
Sunda Kelapa) pernah tinggal di dalam kota tersebut.



0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda